Blog Archives

Kiprah Pasukan Rajawali TNI di Aceh ( A True Story Part 3 of 4)

Bukit Tengkorak
SAAT bergabung dengan pasukan Rajawali awal Oktober silam, seorang sersan satu dari Grup I Kopassus (Serang) mendekati saya. Dia tahu saya belum punya kawan hari itu. Di sela-sela obrolan, saya tanya bagaimana rasanya tujuh bulan tugas di Aceh. Saya sebenarnya ingin menggali sindrom “mata kuning” di kalangan serdadu yang telah enam bulan lebih di medan tugas. Dengar-dengar, kalau kena penyakit itu, sapi pun akan terlihat cantik. Tapi jawaban yang saya dapatkan lain. “Biasa saja,” katanya, “Di sini itu perangnya (seperti) perang-perangan. Tapi kalau mati, mati beneran.”

Soal perang-perangan itu ada benarnya. Saya pernah mendatangi sebuah rumah yang menjadi saksi bisu perang TNI dan GAM. Rumah itu rumah seorang transmigran Jawa yang tak lagi berpenghuni di Sarana Pemukiman I, Alue Peunyareng, Meurebo.

Di dindingnya ada banyak tulisan. Isinya tantangan dan sumpah serapah TNI untuk GAM. Di tempat yang sama, GAM juga menorehkan tantangan dan cemoohannya.

Saya tak tahu siapa yang memulai. Tapi saya kira, kemarahan serdadu Indonesia dipicu tulisan arang di dapur rumah itu:

“I Paie Alias Anjing Jalanan. I Paie Sulid orang. (Orang)nya mati dibilang tidak mati …. mati 20 orang dibilang lecet …. TNI Cumak Ngomong yg bisa. Rakyat dia tahu yang salah dgn benar! TNI takut pada GAM. Kalau TNI Tidak takut pd GAM tidak perlu pi gi ramai2. GAM tak takut …. TNI Cari Uang ke Aceh. Honda orang diambi. Punya sendiri tak ada. TNI Budak orang.” Read the rest of this entry

Kiprah Pasukan Rajawali TNI di Aceh ( A True Story Part 1 of 4)

“Ini adalah kisah nyata, kisah anak-anak negeri yang menyabung nyawa demi keutuhan NKRI, yang mana mungkin diantara kita pada saat yang sama sedang duduk-duduk santai ditemani capuccino dan rokok yang mengepul dari sudut bibir pada sore hari disebuah cafe di pusat perbelanjan sambil bercengkerama dengan pujaan hati kita. Hmmm…cerita ini saya ambil dari sebuah majalah Pantau edisi Februari 2003, dengan maksud agar kita tahu sperti apa kiprah tentara-tentara kita dimedan perang sesungguhnya dan bisa mengambil makna bahwa sesungguhnya mereka adalah “manusia biasa” juga.

MEREKA memulai perjalanannya dari pelabuhan Armada Laut Timur Ujung di Surabaya. Sekitar 700-an serdadu dari Batalyon Infanteri (Yonif) 521/Dadaha Yodha menyemut di bibir dermaga, menunggu giliran naik ke kapal Teluk Bayur. Mereka akan berlayar ke Aceh, medan perang yang jaraknya 3.000 kilometer, dari asrama mereka di Kediri. Di dermaga, seorang gadis berambut kepang mencari-cari sesosok wajah. Saat kapal beringsut meninggalkan Surabaya, pipinya basah dengan air mata. Read the rest of this entry